Minggu, 01 September 2013

Emha Ainun Nadjib "Cak Nun"

“Ayah saya seorang petani dan kiai yang punya sebuah surau. Tapi ayah saya adalah bapaknya orang banyak, yang mengatasi banyak masalah di desa. Ibu saya seorang ibu rumah tangga biasa, tapi juga ibunya orang banyak. Semua keluhan dan masalah orang-orang disampaikan kepadanya. Sejak masih digendong-gendong dan baru bisa berjalan, saya sudah ikut ibu berjalan keliling melihat para tetangga, menanyakan mereka masak apa, anaknya sekolah nggak, problem-problemnya. Itu kemudian secara tidak sengaja membentuk sikap sosial saya. Kebetulan nilai-nilai yang rnendasari semuanya adalah agama, karena agama Islam kuncinya satu yakni menolong orang yang tidak mampu di segala bidang agar dibuat mampu menjadi manusia”-Emha Ainun Nadjib 

Emha Ainun Najib | Muhammad Ainun Nadjib atau biasa disapa Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Anak keempat dari 15 bersaudara ini selain dikenal sebagai budayawan, beliau juga seorang seniman, intelektual muslim, danjuga kolomnis. Dalam riwayat akademisnya, Emha pernah menempuh ke Pondok Pesantren Gontor, setelah tamat dari SD. Namun, di pesantren yang diasuh oleh K.H. Imam Zarkasyi itu ia hanya bertahan selama dua setengah tahun. Emha, yang sejak kecil dikenal kritis, melancarkan aksi protes terhadap ketidakadilan petugas keamanan pondok, sehingga “diusir” dari Pondok Pesantren Gontor. Beliau kemudian menamatkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Antara tahun 1970-1975-an Emha menghabiskan waktunya di Malioboro, Yogyakarta. Di sanalah Emha mulai aktif mendalami dunia sastra. Salah satu guru yang paling berpengaruh dalam kehidupan Emha adalah Sastrawan sekaligus seorang sufi, Umbu Landu paranggi. Tahun 80-an menjadi masa prodiktif Emha. Dalam rentang waktu tersebut, Beliau melahirkan beberapa antologi puisi, di antaranya Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), Cahaya Maha Cahaya (1988), Syair Lautan Jilbab (1989), dan Suluk Pesisiran (1990).

Pada bulan Maret 2011,
Cak Nun memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, Penghargaan Satyalancana Kebudayaan diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa besar di bidang kebudayaan dan mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Saat ini Emha lebih banyak menekuni aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Mbulan di sejumlah kota. Hingga rata-rata 10-15 kali pertemuan digelarnya setiap bulan bersama grup musik Kyai Kanjeng (grup musik yang dibentuknya sekitar tahun
1996). Sampai sekarang, Kyai Kanjeng telah menggelar pentas di lebih dari 8.500-an kota kecamatan se-Indonesia.

Sumber : http://noesveil.blogspot.com